Ketawadhuan dalam ke Imanan Manusia
MAKALAH TAWADHU
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Sejak empat belas abad yang silam, al-Qur’an telah menginformasikan
bahwa ajaran Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah sebagai rahmat
bagi semesta alam (lihat al-Qur’an surat al-An’am ayat: 107). Sayyid Qutb, Ibn
Jarir al-Thabary dan Ahmad Mustafa al-Maraghy, sebagai mufassir
berpendapat bahwa maksud rahmat ini adalah dapat di terima oleh seluruh umat
manusia, apakah mereka dari kalangan mukmin maupun mereka yang bukan mukmin.
Dalam arti lain bahwa, rahmatan li al-‘alamin bisa bermakna
bahwa ajaran Islam sejak diturunkannya telah memiliki karakteristik sebagai
ajaran yang abadi, sempurna dan universal. Kebanyakan kalangan
muslim percaya bahwa salah satu aspek penting untuk mengetahui keuniversalan
ajaran Islam tersebut adalah adanya dorongan untuk senantiasa mencari ilmu
pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada. Dengan adanya
dorongan dari ayat-ayat al-Qur’an maupun dalam al-Hadits yang menganjurkan umat
Islam agar mencari ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya
beberapa disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana salah satu di antaranya
adalah lahirnya ilmu tasawuf yang akan dibahas dalam isi makalah ini. Ilmu
tasawuf sesungguhnya ialah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang
utama, selain ilmu Tauhid (Ushuluddin)dan ilmu Fiqih. Yang
mana dalam ilmu Tauhid bertugas membahas tentang soal-soal I’tiqad
(kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal Ketuhanan,
kerasulan, hari ahir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya.
Kemudian dalam ilmu Fiqih adalah lebih membahas tentang hal-hal ibadah
yang bersifat dhahir (lahir), seperti soal shalat, puasa, zakat, ibadah haji
dan sebagainya. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf lebih membahas soal-soal
yang bertalian dengan akhlak, budi pekerti, amalan ibadah yang bertalian dengan
masalah bathin (hati), seperti: cara-cara ihlash,khusu’, taubat, tawadhu’,
sabar, redhla (kerelaan), tawakkal dan yang lainnya.
BAB
II PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN TAWADHU
Pengertian Tawadhu’ adalah
rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam adalah kalau kita tidak
melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya.
Orang yang tawadhu’ adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang
didapatnya bersumber dari Allah SWT. Yang dengan pemahamannya tersebut maka
tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih
baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang
sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala
amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal
ibadahnya hanya karena Allah. Tawadhu
ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan
takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan
kita.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini : Rasulullah SAW bersabda: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat izzah) oleh Allah. (HR. Muslim). Rasulullah SAW bersabda: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat izzah) oleh Allah. (HR. Muslim). Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: "Bertawadhu lah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.(HR. Muslim). Rasulullah SAW bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim) Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam kitabnya, Madarijus Salikin bahwa tawadhu ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya tinggi. Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.. Ini karena orang yang tawadhu menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur. Perhatikan firman Allah berikut ini : "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS. An Naml: 40).” Berikut beberapa ayat-ayat Al Quran yang menegaskan perintah Allah SWT untuk senantiasa bersikap tawadhu’ dan menjauhi sikap sombong, sebagai berikut :”Dan janganlah kalian berjalan di atas bumi ini dengan menyombongkan diri, karena kalian tidak akan mampu menembus bumi atau menjulang setinggi gunung” (QS al-Isra-37). Firman Allah SWT lainnya: ”Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan di muka bumi dan kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa (QS al-Qashshash-83.) Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.(QS. Al Furqaan: 63) Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (QS: an-Nahl: 23)Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langitdan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS: al-Araf: 40) Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, jadi sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini : Rasulullah SAW bersabda: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat izzah) oleh Allah. (HR. Muslim). Rasulullah SAW bersabda: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat izzah) oleh Allah. (HR. Muslim). Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: "Bertawadhu lah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.(HR. Muslim). Rasulullah SAW bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim) Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam kitabnya, Madarijus Salikin bahwa tawadhu ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya tinggi. Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.. Ini karena orang yang tawadhu menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur. Perhatikan firman Allah berikut ini : "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS. An Naml: 40).” Berikut beberapa ayat-ayat Al Quran yang menegaskan perintah Allah SWT untuk senantiasa bersikap tawadhu’ dan menjauhi sikap sombong, sebagai berikut :”Dan janganlah kalian berjalan di atas bumi ini dengan menyombongkan diri, karena kalian tidak akan mampu menembus bumi atau menjulang setinggi gunung” (QS al-Isra-37). Firman Allah SWT lainnya: ”Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan di muka bumi dan kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa (QS al-Qashshash-83.) Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.(QS. Al Furqaan: 63) Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (QS: an-Nahl: 23)Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langitdan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS: al-Araf: 40) Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.
2.2. CONTOH KETAWAADHUAN RASULULLAH SAW
a.
Anas ra jika bertemu dengan
anak-anak kecil maka selalu mengucapkan salam pada mereka, ketika ditanya
mengapa ia lakukan hal tersebut ia menjawab: Aku melihat kekasihku Nabi SAW
senantiasa berbuat demikian. (HR Bukhari, Fathul Bari’-6247).
b. Dari Anas ra berkata: Nabi SAW
memiliki seekor unta yang diberi nama al-’adhba` yang tidak terkalahkan
larinya, maka datang seorang ‘a’rabiy dengan untanya dan mampu mengalahkan,
maka hati kaum muslimin terpukul menyaksikan hal tersebut sampai hal itu
diketahui oleh nabi SAW, maka beliau bersabda: Menjadi haq Allah jika ada sesuatu
yang meninggikan diri di dunia pasti akan direndahkan-Nya. HR Bukhari (Fathul
Bari’-2872).
c.
Abu Said al-Khudarii ra pernah
berkata: Jadilah kalian seperti Nabi SAW, beliau SAW menjahit bajunya yang
sobek, memberi makan sendiri untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu
kambingnya, membuat sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu pembantunya,
memberi mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan memikulnya
sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang tua maupun
anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang berpapasan baik tua maupun
anak, kulit hitam, merah, maupun putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanjang
termasuk orang yang suka shalat.
Dan beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut
perangainya, dermawan luar biasa, indah perilakunya, selalu berseri-seri wajahnya,
murah senyum pada siapa saja, sangat tawadhu’ tapi tidak menghinakan diri,
dermawan tapi tidak berlebih-lebihan, mudah iba hatinya, sangat penyayang pada
semua muslimin. Beliau SAW datang sendiri menjenguk orang sakit, menghadiri
penguburan, berkunjung baik mengendarai keledai maupun berjalan kaki,
mengabulkan undangan dari para hamba sahaya siapapun dan dimanapun. Bahkan
ketika kekuasaannya SAW telah meliputi jazirah Arabia yang besar datang seorang
‘A’rabiy menghadap beliau SAW dengan gemetar seluruh tubuhnya, maka beliau SAW
yang mulia segera menghampiri orang tersebut dan berkata: Tenanglah, tenanglah,
saya ini bukan Raja, saya hanyalah anak seorang wanita Quraisy yang biasa makan
daging kering. (HR Ibnu Majah-3312 dari abu Mas’ud al-Badariiy).Berbicara lebih jauh
tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan bagi siapa saja yang
ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar tetap tulus ikhlas, murni
dari tujuan selain Allah. Karena memang tidak mudah menjaga keikhlasan amal shaleh
atau amal kebaikan kita agar tetap murni, bersih dari tujuan selain Allah.
Sungguh sulit menjaga agar segala amal shaleh dan amal kebaikan yang kita
lakukan tetap bersih dari tujuan selain mengharapkan ridha-Nya. Karena sangat
banyak godaan yang datang, yang selalu berusaha mengotori amal kebaikan kita.
Apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang menghampiri kita, maka terasa
semakin sulit bagi kita untuk tetap bisa menjaga kemurnian amal shaleh kita,
tanpa terbesit adanya rasa bangga dihati kita. Disinilah sangat diperlukan
tawadhu’ dengan menyadari sepenuhnya, bahwa sesungguhnya segala amal shaleh,
amal kebaikan yang mampu kita lakukan, semua itu adalah karena pertolongan dan
atas ijin Allah SW. Tawadhu’
juga mutlak dimiliki bagi para pendakwah yang sedang berjuang meninggikan
Kalimatullah di muka bumi ini, maka sifat tawadhu mutlak diperlukan untuk kesuksesan misi
dakwahnya. Karena bila tidak, maka disaat seorang pendakwah mendapatkan pujian,
mendapatkan banyak jemaah, dikagumi orang dan ketenaran mulai menghampirinya,
tanpa ketawadhu’an, maka seorang pendakwah pun tidak akan luput dari berbangga
diri atas keberhasilannya
2.3. KEUTAMAAN
SIFAT TAWADHU
Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan
akhirat.
Dari Abu Hurairah,
ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.
Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan
semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’
(rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR.
Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya
di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun
akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya
semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan
meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 16: 142) Tawadhu’
juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam.
Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan,
memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita
yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam
makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang
tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ
يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
“Dan berbakti
kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”
(QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat
tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.
Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai
di tengah-tengah manusia.
Orang tentu saja
akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri.
Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ
تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى
أَحَدٍ
“Dan
sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah
seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada
2.4. MENCONTOH
SIFAT TAWADHU’ NABI SAW
Allah Ta’ala
berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21) Lihatlah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil
dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,
أن النبي صلى
الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم
“Sungguh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas
beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.”
(HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih
kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah ... Ini sifat yang sungguh
mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat
sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya
dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa
yang ia miliki. Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus
atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau
lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.
عَنْ
عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ
يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ:
“مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ
ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya
kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah
menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari
kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit
bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban
dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh
Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri
untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan
istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,
كَانَ
يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ
الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Beliau selalu
membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar
untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang
mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk
di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.
2.5. NASEHAT PARA ULAMA TENTANG TAWADHU’
قال الحسن
رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا
رأيت له عليك فضلاً .
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’
adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim.
Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”
يقول
الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا
يرى فضله »
Imam Asy Syafi’i
berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah
menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak
pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
يقول بشر بن الحارث: "ما رأيتُ
أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير".
Basyr bin Al
Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di
tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang
memiliki sifat tawadhu’.
قال عبد الله
بن المبارك: "رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى
تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].
‘Abdullah bin Al
Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di
bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau
memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al
Baihaqi, 6: 298)
قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في
شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت
معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.
Sufyan bin
‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan
membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena
nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun
akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong
(lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah
bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun
melaknatnya.”
قال أبو بكر
الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.
Abu Bakr Ash
Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah
(merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah),
dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”
قال عروة بن
الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.
‘Urwah bin Al
Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap
nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”
قال يحيى بن
معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان
عليه من الصلاح والخير
Yahya bin Ma’in
berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah
bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah
menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”
قال زياد
النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر
Ziyad An Numari
berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti
pohon yang tidak berbuah.”
Ya Allah,
muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.
اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى
لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummah-diinii
li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah
padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq
tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771). Sesungguhnya
kesombongan akan menimpa mereka yang tidak memiliki ketawadhuan. Padahal
sejatinya kesombongan itu hanya khusus untuk-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)